Terpisah Namun Selalu Bersama


Sudah berbulan-bulan kita tak bersama. Berbulan-bulan juga kita menahan temu yang selalu bergema. Telah lama rasanya kita tak tenggelam dalam percakapan yang tak bertema. hingga menurutku, ini sudah cukup lama.

Kau yang sibuk dengan segala aktivitasmu. Aku yang selalu menuntut untuk bertemu. Kau yang fokus ke tujuanmu. Aku yang terus meronta-ronta tanpa ada bayangmu.

Namun tenanglah.

Kita akan selalu bersama walau harus terpisah jauh. Rasaku padamu akan selalu menumbuh. Karena seberapa banyakpun aku mengeluh. Kau tetap menjadi arah yang selalu kutempuh.

Tenang saja.

Katakan!! Karena diam tidak menyelesaikan masalah


 Kita pernah sehebat habibi ainun. Sebelum kau memutuskan untuk diam. Ketahuilah, diam tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi hanya akan memperbanyak ragu. Aku bukanlah pengerti yang ulung. Yang setiap kau diam, hatiku akan peka dan murung.

Namun, penderitaan tidak hanya sampai di situ. Diammu adalah busur. Yang selalu kau pintalkan kepadaku. Ragu begitu menguasai dirimu. Hingga kau termakan dengannya.

Aku tak bermaksud mengungkit. Tetapi, ingatkah kau bagaimana dahulu kuperjuangkan. Kurelakan waktu senggangku menunggu kabar darimu walau kutahu kau tak ingin ditunggu. Kucampakkan semua yang mengusikku, tak kuhiraukan apapun yang mengganggu kita dan kutabahkan segala yang menyedihkan.

Aku tahu, kau yang sekarang sangat jauh berbeda dari yang dahulu. Kau yang dahulu lebih suka dengan lelucon sederhana, kini butuh konsep yang rapi untuk menghiburmu. Kau yang dahulu begitu memperhatikan ceritaku walau tidak begitu penting, kini menghiraukan masalah-masalah penting dalam hidupmu sendiri. Kau yang dahulu begitu cerewet mengatakan hal-hal manis, kini diam tanpa kata.

Tentu saja, setiap orang yang kau diamkan akan selalu menunggu jawaban. Tak perlu kau katakan ke orang lain. Karena sejatinya, yang menjalaninya adalah kita. Kita yang sejak awal berjuang, maka kita juga yang akan menghadapinya. Entah melanjutkannya atau menyelesaikannya.


Aku tahu, mungkin aku tak pantas denganmu. Atau memang kau ingin lepas dariku. Aku bukan orang seistimewa seperti orang-orang di sekelilingmu sekarang ini. Aku hanyalah seorang yang biasa. Tidak rupawan, tidak bangsawan, tidak hartawan. Tidak punya segalanya. Dan wajar, jika kau ragu karena itu.

Kau selalu menanyakan umur. Yah, aku paham. Mungkin kau menganut pemahaman cinta beda umur itu bermasalah. Kau tak ingin anak-anakmu kelak, tak dapat bermain dengan ayahnya yang sudah lanjut usia.

Sedari tadi aku hanya mengira-ngira. Aku tak tahu lagi bagaimana melanjutkan ini. Diammu sangat menakutkan. Aku tak ingin mengganggu prioritasmu.

Namun kelak, jika kau punya waktu, katakanlah semua yang membuatmu ragu. Kita akan lihat apakah jawabanku nantinya dapat memperbaiki, atau malah memporak-porandakan apa yang selama ini aku (kita) perjuangkan.

Ambigu


Khawatirku dahulu mungkin akan jadi nyata. Kau dahulu adalah orang tersederhana yang selalu berbagi kisah denganku yang hanya orang biasa. Kini hilang dengan keadaan. Keadaan di mana kau mengenal orang-orang yang sangat jauh lebih hebat dibandingkan aku.

Mungkin matamu kali ini berubah. Kini matamu punya standarisasi. Kau tidak lagi melihat dengan kesederhanaan. Kau mementingkan kemewahan, kehebatan dan kesempurnaan.

Dibanding orang-orang di sekitarmu. Siapalah aku ini? Dibanding sajak-sajak yang kau baca, apalah sajakku ini?

Kau yang dahulu mendekat karena (katanya) suka sajakku, kini kau menjauh karena jijik membacanya.

Atau seperti apa?

Mungkin Iya, Mungkin Juga Tidak


Mungkin karena jarak telah mengajarkan apa arti meyakini dan percaya. Dan mungkin juga karena segala yang ada di antara kita mengajariku lebih banyak arti sabar dan mengalah. Saya menjadi orang yang telah terlatih menjadi kuat untuk menghadapi segala ujian yang kamu cipta di antara aku dan penantianku.

Kita pernah sama-sama meyakini bahwa bila kita bersabar dan cukup kuat menunggu maka segala mimpi yang kita karang menjadi nyata di setiap tidur, akan benar-benar menjadi nyata. Namun, apa yang terjadi? kita seperti dua orang yang salah satunya berusaha menggapai, dan yang lain berusaha melepas.

Mungkin saya sudah pada batas lelah untuk berdiri bahkan duduk maupun tidur di satu tempat hanya untuk menunggu kesabaranku berbuah manis. Sebab percuma saja, kau tidak sedang menujuku. Dan kau telah membangun istana dengan pagar beton tinggi yang menjulang hanya untuk membuatku berhenti menujumu. Lalu apa maumu? membuatku menghabiskan sisa hidupku hanya untuk buah pahit yang akan kau berikan?

Atau mungkin juga tidak.